Ki Manteb Soedharsono lahir pada hari
Selasa Legi, 31 Agustus 1948 di Dukuh Jatimalang, Kelurahan Palur,
Kecamantan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Ki Manteb dibesarkan di
tengah keluarga dalang. Kakeknya (Dalang Tus) adalah seorang dalang
kondang, dan ayahnya, Ki Hardjo Brahim Hardjowijoyo juga seorang dalang
yang pada masa kejayaannya cukup disegani, sedangkan ibunya adalah
pesinden dan pengrawit yang berpengalaman.
Sejak kecil Ki Manteb Soedharsono sangat
rajin dan tekun mengikuti pementasan orang tuanya. Pengalaman masa
kecilnya yang begitu akrab dengan seluk-beluk dunia pewayangan telah
membentuk pribadi Ki Manteb kaya akan memori dunia pertunjukan wayang
kulit. Kedisiplinan sang ayah dalam mendidiknya, menjadikan kemampuan
dan keterampilan Ki Manteb kecil terus berkembang. Pada saat berusia 5
tahun, ia sudah dapat memainkan wayang dan manabuh beberapa instrumen
gamelan seperti demung, bonang dan kendang. Menatah wayangpun diajarkan
oleh Ki Hardjo Brahim kepadanya. Tak heran, saat usianya menginjak 10
tahun, Ki Manteb sudah mampu menatah wayang kulit dengan bagus.
Sementara sang ibu yang juga seorang
seniman, penabuh gamelan, lebih suka jika putranya itu memiliki
pekerjaan sampingan selain menjadi dalang. Oleh karena itu, ia pun
memasukan Ki Manteb ke STM Manahan, Sala. Namun nasib berkata lain,
karena bakat dan kemampuannya telah terasah sejak kecil, Ki Manteb
laris sebagai dalang. Kesibukannya mendalang membuat pendidikannya
terbengkalai. Hal ini membuat Ki Manteb harus memilih antara pendidikan
di sekolahnya atau meniti karier sebagai dalang. Akhirnya, ia
memutuskan untuk berhenti sekolah demi mendalami karier mendalang.
Ki Manteb saat pentas di Paris, Perancis
|
Tuntutan dan tantangan dari ayahnya
untuk meneruskan garis dinasti dalang kondang memacu Ki Manteb muda
berjuang keras dan berlatih, dibarengi dengan proses tirakat laku
bathin yang dilakoninya dengan sungguh-sungguh. Pada usianya yang
relatif muda (14 tahun), Ki Manteb telah mampu menguasai seluruh
instrumen musik gamelan. Ia pun pernah dikenal sebagai tukang kendang
cilik yang mumpuni dan sering mengiringi pertunjukan wayang yang
digelar oleh dalang sepuh, Ki Warsino dari Baturetno, Wonogiri.
Kesempatan itu pun ia manfaatkan untuk menimba ilmu pedalangan dari Ki
Warsino.
Agar lebih dapat meningkatkan
keahliannya, Ki Manteb banyak belajar kepada para dalang senior.
Misalnya, ia belajar dari dalang legendaris Ki Narto Sabdo yang mahir
dalam seni dramatisasi pada tahun 1972, dan dari Ki Sudarman
Gondodarsono yang ahli sabet (seni menggerakkan wayang) pada tahun
1974. Pada tahun 1982, berkat gemblengan dari dua dalang senior itu dan
sang ayah, Ki Manteb berhasil menjuarai Pakeliran Padat se-Surakarta.
Ketika Ki Narto Sabdo meninggal dunia
tahun 1985, seorang penggemar beratnya bernama Soedharko Prawiroyudo
merasa sangat kehilangan. Ia kemudian bertemu murid Ki Narto, Ki
Manteb, yang dianggap memiliki beberapa kemiripan dengan gurunya itu.
Ki Manteb pun diundang untuk mendalang dalam acara khitanan putra
Soedharko.
Sejak itu, hubungan keduanya semakin
akrab. Soedharko kemudian bertindak sebagai promotor pergelaran rutin
Banjaran Bima di Jakarta yang dipentaskan oleh Ki Manteb. Pergelaran
tersebut diselenggarakan setiap bulan sebanyak 12 episode sejak
kelahiran sampai kematian Bima, tokoh Pandawa. Pergelaran itulah yang
kemudian membuat nama Ki Manteb sebagai seniman tingkat nasional mulai
diperhitungkan publik.
Ketika Ki Manteb menyerahkan wayang Bima kepada Presiden SBY
|
Ki Manteb mengaku hobi menonton film
kung fu yang dibintangi Bruce Lee dan Jackie Chan. Aksi laga para
jagoan kesayangannya itu kemudian diterapkan ketika mendalang sebuah
lakon. “Saya mengembangkan teknik sabetan itu dari film-film Bruce Lee
dan Jacky Chan. Gerakan kungfu itulah yang memberi saya inspirasi dalam
sabetan,” kata ayah enam anak ini.
Untuk
mendukung dramatisasi sabet yang dimainkannya, Ki Manteb pun membawa
peralatan musik modern ke atas pentas, misalnya tambur, biola,
terompet, ataupun simbal. Pada awalnya hal ini banyak mengundang kritik
dari para dalang senior karena dianggap melenceng dari pakem-pakem
yang sudah ada. Namun tidak sedikit pula yang mendukung inovasi Ki
Manteb.
Untuk mendukung dramatisasi sabet yang
dimainkannya, Ki Manteb pun membawa peralatan musik modern ke atas
pentas, misalnya tambur, biola, terompet, ataupun simbal. Pada awalnya
hal ini banyak mengundang kritik dari para dalang senior karena
dianggap melenceng dari pakem-pakem yang sudah ada. Namun tidak sedikit
pula yang mendukung inovasi Ki Manteb. Karena keterampilannya dalam
mendalang, Ki Manteb diberi julukan dalang setan oleh para
penggemarnya.
Julukan dalang setan itu diberikan
pertama kali pada tahun 1987 oleh mantan menteri penerangan
Boedihardjo, seusai menyaksikan Ki Manteb mendalang. Julukan itu bukan
karena sang dalang jahat, tetapi justru sebagai bentuk kekaguman
Boedihardjo terhadap sabetan (cara menggerakkan wayang kulit) yang
dimiliki Ki Manteb. Ki Manteb bisa memainkan beberapa wayang sekaligus,
dengan gerakan secara cepat dan berputar-putar dalam lakon peperangan
yang luar biasa mencengangkan. Bagi penikmat wayang, gerakan-gerakan
tersebut dianggap luar biasa dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang
dalang.
Misalnya dalam ramainya perang,
tiba-tiba tokoh yang tadinya terdesak, tiba-tiba memegang senjata dan
ganti memukul lawannya. Menurut Ki Manteb, semua itu bukan sulap bukan
sihir, namun berkat ketekunan melatih kecepatan gerak tangan dan
kemampuan mengalihkan perhatian penonton. Untuk mendukung kemampuan
sabetnya, Ki Manteb sangat kreatif dan sangat teliti mendesain
wayangnya. Mulai dari ketebalan kulitnya, pola hiasannya, gapitan
sampai wandanya.
Meskipun menekankan pada aspek keindahan
visual namun pakeliran gaya Ki Manteb pada akhirnya tidak saja tampil
sebagai tontonan yang menghibur tetapi juga memberikan ruang bagi
masyarakat untuk melakukan dialog reflektif dengan kenyataan hidup yang
dihadapi bersama, sarat dengan pesan-pesan moral baik berupa
kritik-kritik terhadap pemerintah dan masyarakat, maupun
harapan-harapan yang mendorong semangat optimistik bagi masyarakat
penontonnya. Dalam setiap pertunjukannya, Ki Manteb selalu mencoba
memaknai dan menafsir ulang lakon yang disajikan. Tak jarang juga, Ki
Manteb mengadopsi pola penyusunan alur dramaturgi film dalam
lakon-lakon wayangnya, seperti mempergunakan alur flashback. Penyusunan
plot cerita yang kontekstual dengan isu-isu atau kondisi yang sedang
berkembang di masyarakat menjadikan pertunjukannya selalu up to date.
Ki Manteb dan pesinden asal Jepang, Hiromi Kano (dua dari kanan)
|
Kreativitas dan inovasi-inovasi yang
intens dilakukan Ki Manteb mampu membawa pertunjukan wayangnya menjadi
pertunjukan akbar yang ditonton oleh ribuan orang. Popularitas yang
luar biasa itulah yang mengilhami sebuah produk obat “Oskadon”
menjadikan Ki Manteb sebagai brand image untuk mendongkrak omzet
penjualan dengan jargon “Oskadon Pancen Oye”. Hasilnya pun sangat
fantastis, omzet pemasaran naik hingga lebih dari 400%. Kerjasama yang
telah berlangsung dari tahun 1990 hingga sekarang membuat produk
tersebut sangat lekat dengan image Ki Manteb. Julukan “Dalang Oye” pun
diberikan masyarakat kepadanya.
Popularitas itu terus bertahan.
Penontonnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya di
pulau Jawa namun juga di luar Jawa. Sudah ribuan pementasan dia gelar
dengan berbagai maksud dan kepentingan, seperti untuk acara ruwatan,
pesta hajatan, kampanye politik ataupun gelaran pentas untuk
menyosialisasikan beragam program pemerintah seperti Keluarga Berencana
(KB), Anti HIV AIDS dan Narkoba, sosialisasi pemilu dan lain-lain. Ki
Manteb juga tak jarang menggelar pertunjukkan di sejumlah daerah tanpa
bayaran. Dari sekian banyak lakon yang pernah ia mainkan, beberapa
lakon menjadi sangat fenomenal, seperti “Banjaran Bima”,“Ciptoning”,
“Wiratha Parwa”, “Dewa Ruci”, dan lain-lain. Sebuah lakon special
“Celeng Degleng” merupakan lakon carangan Ki Manteb sendiri ketika
menginterpretasi lukisan-lukisan karya Djoko Pekik “Berburu Celeng”
yang menggambarkan tumbangnya rezim Soeharto.
Beberapa pertunjukan wayang kulit di
luar negeri pun pernah Ki Manteb lakukan seperti di Amerika Serikat,
Spanyol, Jerman, Jepang, Suriname, Belanda, Perancis, Belgia, Hongaria
dan Austria. Ketika kesenian wayang ditetapkan oleh UNESCO sebagai
Masterpieces of the Oral and Intangible of Heritage of Humanity, Ki
Manteb terpilih mewakili komunitas dalang indonesia untuk menerima
penghargaan tersebut.
Beberapa penghargaan sudah diterima oleh
Ki Manteb. Pada Tahun 1995, ia mendapat penghargaan dari Presiden
Soeharto berupa Satya Lencana Kebudayaan. Kemudian pada tahun 2004, Ki
Manteb memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) karena
kegemilangannya mendalang selama 24 jam 28 menit tanpa istirahat pada
acara Ultah RRI Semarang.
Pada 19 Mei 2010, Ki Manteb menerima
penghargaan budaya dari Nikkei Asia Prize, sebuah penghargaan dari
penerbitan koran terbesar di Tokyo, Nihon Keiza Shimbun (Nikkei).
Nikkei melihat dedikasi Ki Manteb yang sangat besar dalam melestarikan
dan menekuni wayang kulit. Ki Manteb juga mampu menyebarkan dan
menyajikan pertunjukan wayang yang memukau masyarakat tidak hanya di
Indonesia namun juga di berbagai belahan dunia.
Ki Manteb menerima piagam penghargaan Nikkei Asia Prize
|
Selain gaya pedalangan yang atraktif, Ki Manteb juga dikenal sebagai
pelopor dalam hal manajemen keuangan. Honor hasil pentas tidak
dihabiskan langsung, melainkan dikelola oleh manajernya. Ki Manteb
memiliki banyak kru dalam setiap pementasannya. Ia juga membutuhkan
biaya perawatan untuk armada dan peralatan mendalangnya. Manajemen yang
baik amat diperukan agar tidak bernasib sama seperti dalang lainnya
yang semasa muda hidup berlimpah karena laris, namun setelah tua
menderita kekurangan.